Selasa, 12 Maret 2013

                         Ventrikel Septal Defect (VSD)

          Ventrikel septum defek (VSD) merupakan penyakit jantung bawaan yang paling sering
ditemukan, yaitu kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler, dapat
hanya satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fungsi septum interventrikuler semasa
janin dalam kandungan, sehingga darah bisa mengalir dari ventrikel kiri ke kanan ataupun
sebaliknya. Kelainan ini umumnya congenital, tetapi dapat pula terjadi karena trauma.1
 
Etiologi VSD  
           Kelainan ini merupakan kelainan terbanyak yaitu sekitar 25% dari seluruh kelainan
jantung. Dinding pemisah antar kedua ventrikel tidak tertutup sempurna. Kelainan ini
umumnya kongenital, tetapi dapat pula terjadi karena trauma. VSD sering ditemukan pada
anak-anak dan seringkali merupakan suatu kelainan jantung bawaan. Pada anak-anak,
lubangnya sangat kecil, tidak menimbulkan gejala dan seringkali menutup dengan sendirinya
sebelum anak berumur 18 tahun. Pada kasus yang lebih berat, bisa terjadi kelainan fungsi
ventrikel dan gagal jantung. VSD bisa ditemukan bersamaan dengan kelainan jantung lainnya.
Lebih dari 90% kasus penyakit jantung bawaan penyebabnya adalah multi factor. Fator yang
berpengaruh adalah :1
- Factor eksogen : berbagai jenis obat, penyakit ibu (rubella dan DM) serta ibu hamil dengan
alkoholik
- Factor endogen : penyakit genetic (down syndrome)
Epidemiologi VSD
Defek septum ventrikel adalah kelainan jantung kongenital yang paling sering ditemukan,
yaitu:1
- 20-30% dari seluruh kasus kelainan jantung bawaan
- 2,5-3,5 dari 1000 kelahiran hidup
- Frekuensi pada wanita 56%, sedangkan laki-laki 44%
- Sering dijumpai pada sindrom Down
- Kelainan tunggal dan kelainan jantung kongenital yang muncul bersama dengan VSD
adalah 50% dari seluruh kasus kelainan jantung kongenital
- Insiden tertinggi pada premature dengan kejadian 2-3 kali lebih sering disbanding bayi
aterm
 
Patofisiologi VSD
Darah arterial mengalir dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan melalui defek pada septum
intraventrikular. Perbedaan tekanan yang besar membuat darah mengalir dengan deras dari
ventrikel kiri ke ventrikel kanan menimbulkan bising. Darah dari ventrikel kanan di dorong
masuk ke arteri pulmonalis. Semakin besar defek, semakin banyak darah masuk ke arteri
pulmonalis. Tekanan yang terus-menerus meninggi pada arteri pulmonalis akan menaikan
tekanan pada kapiler paru. Mula-mulanya naiknya tekanan kapiler ini masih reversibel (belum
ada perubahan pada endotel dan tunika muskularis arteri-arteri kecil paru),  tetapi kemudian
pembuluh darah paru menjadi sklerosis dan akan menyebabkan naiknya tahanan yang
permanen. Bila tahanan pada a.Pulmonalis sudah tinggi dan permanen, tekanan pada ventrikel
kanan juga jadi tinggi dan permanen.4
VSD ditandai dengan adanya hubungan septal yang memungkinkan darah mengalir
langsung antara ventrikel biasanya dari kiri ke kanan. Diameter defek bervariasi dari 0,5 – 3,0
cm. Kira – kira 20% dari defek ini pada anak adalah defek sederhana, banyak diantaranya
menutup secara spontan. Kira – kira 50 % - 60 %  anak -  anak menderita defek ini memiliki
defek sedang dan menunjukkan gejalanya pada masa kanak – kanak. Defek ini sering terjadi
bersamaan dengan defek jantung lain. Perubahan fisiologi yang terjadi sebagai berikut :4
1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningkatkan aliran darah kaya oksigen
melalui defek tersebut ke ventrikei kanan.
2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang akhirnya dipenuhi darah dan
dapat menyebabkan naiknya tahanan vaskular pulmonar.
3. Jika tahanan pulmonar ini besar, tekanan ventrikel kanan meningkat menyebabkan pirau
terbalik, mengalirkan darah miskin oksigen dari ventrikel kanan ke kiri menyebabkan
sianosis (sindrom eisenmenger).
Gejala Klinis VSD
Bergantung pada besarnya pirau kiri ke kanan. Makin besar pirau makin berkurang darah
yang melalui katup aorta dan makin banyak volume darah jaringan intratorakal. Berkurangnya
darah pada system sirkulasi menyebabkan pertumbuhan badan terlambat, volume darah pada
system sirkulasi menyebabkan infeksi saluran nafas yang berulang. Pada VSD kecil anak
dapat tumbuh sempurna tanpa keluhan, sedangkan pada VSD besar dapat terjadi gagal jantung
yang dini yang memerlukan pengobatan medis intensif.
Menurut ukurannya VSD dapat dibagi menjadi :
a. VSD kecil
      Diameternya yaitu 1-5 mm.  Besarnya defek bukan satu-satunya faktor yang
menentukan besarnya aliran darah. Pertumbuhan badan normal walaupun terdapat
kecenderungan timbulnya infeksi saluran nafas. Pada latihan lama dan lebih intensif
akan cepat lelah dibandingkan dengan teman sebayanya. Biasanya asimptomatik.
Tidak ada gangguan tumbuh kembang. Bunyi jantung normal, kadang ditemukan
bising perstaltik yang menjalar ke seluruh tubuh perikardium dan berakhir pada waktu
diastolik karena terjadi penutupan VSD.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bising holosistolik dengan atau tanpa thrill,
tepat sebelum bunyi jantung ke-2.1
b. VSD sedang
Menunjukan gejala mirip dengan VSD besar, hanya lebih ringan. Penderita mengeluh
mudah lelah, sering mendapat infeksi pada paru sehingga menderita batuk dan sesak
nafas pada waktu aktivitas.1
Pada pemeriksaan fisik terdapat bising pansistolik cukup keras (derajat3) nada tinggi,
kasar, pada ICS 3-4 linea parasternalis kiri.
c. VSD besar
Merupakan salah satu kelainan jantung kongenital yang sering menyebabkan gagal
jantung kongestif, kelainan biasanya tidak terdeteksi sampai umur 1 bulan. Karena
kelebihan sirkulasi pulmonal, penderita akan mengalami sesak nafas, sianosis
(walaupun VSD bukan PJB yang sianotik tetapi apabila aliran darah inefektif lebih
tinggi daripada aliran darah efektif, sianosis akan muncul), gangguan makan, infeksi
dan radang paru yang berulang dan gangguan pertumbuhan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan sesak nafas, dan prekordial yang hiperaktif, bising
pansistolik 3-4, nada tinggi kasar, bising diastolik pada ICS 4 linea midclavikularis
setelah bunyi jantung ke-2.1
Penatalaksanaan
   VSD
 
- VSD kecil perlu antibiotik profilaksis karena resiko terjadinya endokarditis bakterialis.
- VSD sedang perlu diberikan diuretik.
- VSD besar perlu diberikan diuretik (furosemid atau thiazid) diberikan bersama-sama dengan
suplemen kalium atau diberikan diuretik hemat kalium (spironolakton) pembedahan denganmenutup defek dengan alat katerisasi jantung. Pembedahan dengan melalui cardiopulmonary
bypass.1
Komplikasi VSD
- Gagal jantung kronik.
- Endokarditis infektif.
- Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmonari.
- Penyakit vaskular paru progresif.
- Kerusakan sistim konduksi ventrikel, RO thoraks memperlihatkan kardiomegali dengan
pembesaran LA, LV, dan kemungkinan RV. Terdapat peningkatan PVM. Derajat
kardiomegali dan peningkatan PVM sesuai dengan bertambahnya besar defek VSD. Bila
terjadi PVOD maka gambaran lapangan paru akan iskemik dan segmen PA akan membesar.
- Kelainan fungsi ventrikel.
- Gagal jantung.
Pencegahan VSD
1. Anak diberikan asupan kalori yang memadai agar mencapai pertumbuhan yang optimal.
2. Sebelum dan selama hamil ibu menghindari pemakaian alkohol, merokok dan mengontrol
diabetesnya secara teratur.1
Prognosis VSD
Baik, pada penderita VSD kecil karena biasanya tanpa gejala. Paa defek yang besar
dilakuakn penanganan medik untuk menghindari timbulnya hipertensi pulmonal dan beberapa
komplikasi yang mungkin timbul yang akan mengganggu tumbuh kembang anak secara
optimal. 70% akan menutup spontan.1





1. M.H Abdoerrachman, M.B Affandi, S. Agusman, H. Alatas, Dahlan A, Aminullah A,
et all. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: FKUI; 2007
2. Price. Patofisiologis: proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2000



Senin, 11 Maret 2013

Rumus perhitungan kedokteran

RUMUS - RUMUS PENTING

Hb = ΔHb x BB x K
        Ket : ΔHb = Hb normal – saat ini
          K  = Anak      : 5
                 Dewasa  : 4

PRC = ΔHb x BB x 80/22
        Ket : max 20cc/KgBB/hr


WB = ΔHb x BB x 70/12
        Ket : max 20cc/KgBB/hr


Albumin = ΔAlbumin x BB x 0,8 (dalam gr)
        Ket : max 1gr/KgBB/hr


Albumin = ΔAlbumin x BB x 0,8 x (20% a/ 25%)  --> (dalam cc)
        Ket : max 1gr/KgBB/hr


EBV (Estimated Blood Volume)
Dewasa  : 70% BB
Anak       : 75% BB
Bayi         : 80% BB


Status Gizi (menurut NCHS)
BB/U  : BB saat ini / BB menurut umur
      Gizi buruk   : < 60%
                                  60 – 80 %
      Gizi rendah : 70 – 90 %
      Gizi normal : 80 – 120 %
      Gizi tinggi    : > 120 %
TB/U  : TB saat ini / TB menurut umur
      pendek        :  < p 3
      sangat krg    : < 70 %
      kurang         :  70 -89 %
    normal         : 90 – 110 %  
BB/TB  : BB saat ini / BB sesuai TB saat ini
                  Gizi buruk    : < 70 %
      Gizi kurang  : 70 – 90 %
      Gizi baik       : 90 – 110 %
      Gizi lebih     : 110 – 120 %
      Obese          : > 120 %
      Super O       : > 140 % 



Kebutuhan cairan Neonatus
   hari 1  : 80 cc / KgBB / hr
           2  : 90 cc / KgBB / hr
           3  : 100 cc / KgBB / hr
           7  : 150 cc / KgBB / hr
         14  : 200 cc / KgBB / hr  


Kebutuhan Elektrolit Neonatus
      (KCl atau NaCl dalam D10%)
Kebutuhan KCl : 1 – 2 mEq / KgBB / hr (1cc = 1 mEq)
                  NaCl : 1 – 2 mEq / KgBB / hr (1cc = 0,85 mEq)
  *contoh : bayi umur 3 hari berat 3 Kg, berapa kebutuhan elektrolit bayi tersebut??
  *jawab   : kebutuhan cairan --> 100 cc x 3 Kg = 300 cc / hr
                    kebutuhan KCl      --> 2 mEq x 3 Kg = 6 mEq
  (500 cc / 300 cc) x 6 mEq = 10 mEq
                                                    10 mEq : 1 mEq = 10 cc
                    kebutuhan NaCl   --> 2 mEq x 3 Kg = 6 mEq
  (500 cc / 300 cc) x 6 mEq = 10 mEq
                                                    10 mEq : 0,85 mEq = 11,7 cc
maka diberikan Elektrolit 10cc KCl + 11,7cc NaCl dalam 500 cc (1kolf) D10%






 



Jumat, 08 Maret 2013

Sindrom Nefrotik

SINDROM NEFROTIK


BATASAN

         Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.1

ETIOLOGI

          Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).2


Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
            Kelainan minimal (KM)
            Glomerulosklerosis (GS)
                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
            Glomerulonefritis kresentik (GNK)
            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran
                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
            Glomerulopati membranosa (GM)
            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

 Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya 5 menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer 6 di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a.   Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
b.   Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c.   Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
d.   Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e.   Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

 

 

PATOFISIOLOGI

           Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari  proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.7
            Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak  karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.8
            Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya  mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
            Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang  memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan  volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron  rendah sebagai akibat hipervolemia.
                 Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill  berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3

 

GEJALA KLINIS       

         Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).9
         Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.9
          Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.9
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.9
           Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9 Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting.  Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.2
            Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.9
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.1,5
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
             Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.

 

CARA PEMERIKSAAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

I.  Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,  perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

II.  Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang  ditemukan hipertensi.
III. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya  normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.

DIAGNOSIS BANDING

1.      Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.
2.      Glomerulonefritis akut
3.      Lupus sistemik eritematosus.

Penyulit

1.      Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2.      Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3.      Infeksi
4.      Hambatan pertumbuhan
5.      Gagal ginjal akut atau kronik
6.      Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku.

PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.

            Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :            

Tabel 2.  Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik

Remisi

Kambuh

Kambuh tidak sering

Kambuh sering

Responsif-steroid
Dependen-steroid

Resisten-steroid

Responder lambat

Nonresponder awal
Nonresponder lambat

Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
     3 hari berturut-turut.
Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,  atau  ³ 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid

PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.10
A.     Sindrom nefrotik serangan pertama
1.      Perbaiki keadaan umum penderita :
                          a.      Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
                         b.      Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.
                          c.      Berantas infeksi.
                         d.      Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
                          e.      Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
2.      Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu  14 hari.
B.     Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
             1.     Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
             2.     Perbaiki keadaan umum penderita.
a.      Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.
                                                    1.     Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
                                                    2.     Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
b.     Sindrom nefrotik kambuh sering
                    adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.
                                                      1.     Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
                                                      2.     Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid,  atau untuk biopsi ginjal.

PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1.          Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr  11 : 158-61.
2.          International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int  13 : 159.
3.          Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
4.          Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
5.          Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia, 14 Oktober.
6.          Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.
7.          A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr  98 : 561.
8.          Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.
9.          Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18] [(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on September 16, 2002 at 08.57.
10.      Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date   2000; 8.


Selasa, 05 Maret 2013

Konsensus Kejang Demam

Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam

 1. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 0 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Ismael S. KPPIK-XI 1983  
Soetomenggolo TS. Buku Ajar neurologi Anak 1999.

Penjelasan:
Biasanya terjadi pada anak umur 6 bulan – 5 tahun.
AAP, Provisional Committee on Quality Improvement. Pediatrics 1996; 97:769-74

Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993;34;592-8

Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993;34;592-8

Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Kesepakatan Saraf Anak 2005

2. Fakta mengenai kejang demam
  • Kejang demam terjadi pada 2 % - 4 % dari populasi anak 6 bulan - 5 tahun
  • 80 % merupakan kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus  adalah kejang demam kompleks
  • 8 % berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
  • 16 % berulang dalam waktu 24 jam
  • Kejang  pertama terbanyak di antara umur 17 - 23 bulan
  • Anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam
  • Bila  kejang  demam  sederhana  yang  pertama  terjadi pada umur  kurang  dari 12 bulan, maka risiko kejang demam ke dua 50 %, dan bila kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan, risiko kejang demam ke dua  turun menjadi 30%.
  • Setelah kejang demam pertama, 2 – 4 % anak  akan berkembang menjadi epilepsi dan ini 4 kali risikonya dibandingkan populasi umum.
 Hirz DG.  Febrile seizures. Ped in Rev 1997;18:5-9
Baumer JH. Evidence based Guideline for post-seizure management in children
presenting acutely to secondary care. Arch Dis Child 2004; 89:278-280.

3. Klasifikasi
  1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
  2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993;34;592-8

Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum, tonik dan atau klonik , umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993;34;592-8
Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam : Baram TZ,
Shinnar S, eds, febrile seizures, San Diego : Academic Press 2002;p.1-20

Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):
  1. Kejang lama > 15 menit
  2. Kejang fokal atau  parsial satu sisi, atau kejang umum didahului  kejang parsial  
  3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Penjelasan:
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosi in Febrile seizure. Pediatr 1978;61:720-7
Berg AT, Shinnar S. Complex febrile seizure. Epilepsia 1996;37:126-33

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Factors prognostic of unprovoked seizures
 after febrile convulsions. NEJM 1987;316:493-8

Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari , diantara 2 bangkitan kejang anak sadar.
Shinnar S. Febrile seizures In : Swaiman KS, AshwalS,eds.
Pediatric Neurology principles and practice. St Lois : Mosby 1999,p.676-82.


4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab demam, seperti darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).
Gerber dan Berliner. The child with a simple febrile seizure. Appropriate diagnostic evaluation.
Arch Dis Child 1981;135:431-3
AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile seizures.
Pediatr 1996;97:769-95


Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %.

Pada  bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis, oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
  1. Bayi kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan dilakukan
  2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
  3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile seizures.
Pediatr 1996;97:769-95
               ; 89:   Baumer JH. Evidence based guideline for post-seizure management in children  presenting acutely to secondary care. Arch Dis Child 2004278-280.

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan ( level II-2, rekomendasi E).
AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile seizures.
Pediatr 1996;97:769-95
     Millichap JG. Management of febrile seizures : current concepts and recommendations for
Phenobarbital and electroencephalogram. Clin Electroencephalogr 1991;22:5-10

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Kesepakatan Saraf Anak 2005

Pencitraan
Foto X-ray  kepala dan neuropencitraan seperti Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi, seperti:
1.    Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2.    Parese nervus VI
3.    Papiledema
Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion.
 HK J Paediatr 2002;7:143-151

5. Faktor risiko
Faktor risiko berulangnya kejang demam
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10 % - 15 % kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang paling besar pada tahun pertama.
Berg AT,  dkk. Predictors of recurrent febrile seizure: a prospective study of the circumstances
                        surrounding the initial febrile seizure, NEJM 1992;327:1122-7
Annegers JF, dkk. Reccurrence of febrile convulsion in a population based cohort. Epilepsy
Res 1990;66:1009-14
            Knudsen FU. Recurrence risk after first febrile seizure and effect short term diazepam prophylaxis Arch Dis Child 1996;17:33-8

Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
    kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 % (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam
Nelson KB dan Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizure. Pediatr 1978;61:720-7
Annegers JF, dkk. Factor prognotic of unprovoked seizures after febrile convulsions. NEJM 1987;316:493-8  

6. Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Ellenberg JH dan Nelson KB. Febrile seizures and later intellectual performance.
Arch Neurol 1978;35:17-21
Maytal dan Shinnar S. Febrile status epilepticus. Pediatr 1990;86:611-7



Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
National Institutes of Health. Febrile seizure: consensus development conference
Summary. Vol3. no2  Bethesda.Md:National Institute of Health 1980


7. Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 - 0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
Knudsen FU. Rectal administration of diazepamin solution in the acute treatment of convulsion
In infants and children. Arch Dis Child 1979;54:855-7.
Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital status epilepticus. An Emerg Med 1994;23:216-24
Knudsen FU. Practical management approaches to simple and complex febrile seizures.
Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds, Febrile seizures. San Diego : Academic Press 2002;p.1-20

Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. dan disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10 - 20 mg/kg/kali dengan kecepatan  1 mg /kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal.

Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
 Soetomenggolo TS. Buku Ajar neurologi Anak.1999
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelines for physician in the management of
 febrile seizures. Brain  Dev 1996;18:479-484.



Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam dan faktor risikonya, apakah kejang demam sederhana atau kompleks.


8. Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi E). Dosis asetaminofen yang digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali  diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali sehari.
Camfield PR, dkk. The first febrile seizures-Antipyretic instruction plus either phenobarbital or
Plecebo to prevent recurrence. J Pediatr 1980;97:16-21.
Uhari M, dkk. Effect of acetaminophen and of low intermittent doses of diazepam on
Prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr 1995;126:991-5

Asetaminofen dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, meskipun jarang. Antipiretik pilihan adalah parasetamol 10 mg/kg yang sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh.
Van Esch A, dkk. Antipyretic  efficacy of ibuprofen and acetaminophen in children with febrile seizures.
Arch Pediatr Adolesc Med. 1995;149:632-5

Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3 - 2/3 kasus), begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C  (level I, rekomendasi E).
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 – 39 % kasus.
Rosman NP dkk. A controlled trial of diazepam administered during febrile illneses to prevent
Recurrence of febrile seizures. NEJM 1993;329:79-84
Knudsen FU. Intermitten diazepam prophylaxis in febrile convulsions: Pros and cos.
Acta Neurol Scand 1991; 83(suppl.135):1-24.
Uhari M, dkk.  Effect of acetaminophen and low dose intermitten diazepam on
prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr. 1995;126:991-5

Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
Knudsen FU. Practical management approaches to simple and complex febrile seizures.
Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds, Febrile seizures. San Diego : Academic Press 2002;p.1-20

9. Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
  1. Kejang lama > 15 menit
  2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.
  3. Kejang fokal
  4. Perngobatan rumat dipertimbangkan bila:
            . Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
. kejang demam > 4 kali per tahun

Penjelasan:
  • Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat
  • Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan  merupakan indikasi
  • Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus  organik

Jenis obat antikonvulsan
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).
Mamelle C, dkk. Prevention of recurrent febrile convulsion – a randomized therapeutic assay :
Sodium valproate, Phenobarbital and placebo. Neuropediatrics 1984;15:37-42
Farwell JR, dkk. Phenobarbital for febrile seizures-effects on intelligence and on seizure
recurrence. NEJM 1990:322:364-9

Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam benign dan efek samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus menerus diberikan dalam jangka pendek, dan pada kasus yang sangat selektif (rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40 - 50 %).

Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis namun insidensnya kecil. Dosis asam valproat 15 - 40 mg/kg/hari dalam 2 - 3 dosis dan fenobarbital 3 - 4 mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.
AAP, Committee on drugs. Behavioral and cognitive effects of anticonvulsant theraopy.
Pediatr 1995;96::538-40
AAP. Practice parameter: Longterm treatment of the child with simple febrile seizures
Pediatr 1999;103;1307-9
Knudsen FU. Febrile seizures-treatment and outcome. Epilepsia 2000;41;2-9.



Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak 1999
           Knudsen FU. Febrile seizures: treatment and outcome. Brain Dev 1996;18:438-49.
              
10. Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
  1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
  2. Memberitahukan cara penanganan kejang
  3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
  4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat  efek samping obat
Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion.
HK J Paediatr 2002;7:143-151


11. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:
  1. Tetap tenang dan tidak panik
  2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
  3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
  4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
  5. Tetap bersama pasien selama kejang
  6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
  7. Bawa  kedokter  atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the management of
 febrile  seizures. Brain Dev 1996;18: 479-484.

12. Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi dengan standar vaksinasi. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 - 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 - 34 per 100.000.  Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan asetaminofen pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the management of febrile  seizures.
Brain Dev 1996;18: 479-484.
Zempsky WT.Pediatrics,febrile seizures. Http://www.emedicine.com/ emerg/topic 376. htm.

Lampiran


Penjelasan:
  1. Bila kejang berhenti, terapi profilaksis intermiten atau rumatan diberikan  berdasarkan apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan bagaimana faktor risikonya.
  2. Pemberian fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena (20 menit) dicampur dengan cairan NaCl fisiologis, untuk mengurangi efek samping aritmia dan hipotensi.
       Knudsen FU. Febrile seizures: treatment and outcome. Brain Dev 1996;18:438-49.
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the management of febrile seizures.
Brain Dev 1996;18: 479-484.
                                                Kesepakatan saraf anak

Level Evidens dan Rekomendasi
Tingkat evidens
I.       Evidens yang didapat dari minimal satu randomized controlled trials.
II-1.   Evidens yang didapat dari non-randomized controlled trials.
II-2.   Evidens yang didapat dari penelitian kohort atau kasus kontrol, terutama
           yang diperoleh lebih dari satu pusat atau kelompok penelitian.
II-3.   Evidens  yang  diperoleh  dari  perbandingan  tempat  atau  waktu  dengan
           atau tanpa intervensi. Contoh : uji yang tidak terkontrol yang menghasil  -  
           kan hasil yang cukup mengejutkan seperti hasil pengobatan dengan penisi-
           lin pada tahun 1940 dapat dimasukkan dalam kategori ini.
III.    Konsensus, penelitian deskriptif, pengamatan klinis.

Kualitas rekomendasi
A.      Terdapat fakta yang bagus kualitasnya (good) untuk mendukung rekomen-
           dasi bahwa intervensi tersebut dapat diterapkan.
B.      Terdapat fakta yang cukup berkualitas (fair) untuk mendukung rekomen -
           dasi bahwa intervensi tersebut dapat diterapkan.
C.      Terdapat  fakta  yang  tidak  berkualitas  (poor)  dalam hal nilai atau harm
           dari intervensi, rekomendasi dapat dilakukan pada bidang lain.
D.      Terdapat  fakta  cukup  berkualitas (fair)  untuk mendukung rekomendasi
           bahwa intervensi tersebut tidak dapat diterapkan.
E.      Terdapat fakta yang bagus kualitasnya (good) untuk mendukung rekomen-
           dasi bahwa intervensi tersebut tidak dapat diterapkan.
Schet et al. BMJ, 1996;312:71-2
The Canadian Task Force on Periodic Health Examination (1994)

Sumber:  KONSENSUS PENANGANAN KEJANG DEMAM. Editor: Hardiono D. Pusponegoro, Dwi Putro Widodo, Sofyan Ismael Unit Kerja Koordinasi Neurologi PP. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2005 - 2008.